Publiknews.co.id- Dibalik suksesnya program bantuan pemerintah melalui anggaran Revitalisasi Satuan Pendidikan, Lembaga Komunitas Anti Korupsi (L-KONTAK) mencatat setidaknya ada beberapa yang patut diwaspadai.
L-KONTAK menilai, program itu sangat rentan terhadap praktik korupsi, mulai dari pendanaan yang besar dan minimnya pengawasan di lapangan menjadi celah terbuka bagi oknum-oknum tak bertanggung jawab.
“Yang sering terjadi modusnya pengurangan spesifikasi (mark-down) dan itu berbanding terbalik dengan anggaran yang dikeluarkan. Bangunan yang seharusnya kokoh malah dibangun dengan material berkualitas rendah,” tegas Muhammad Yusri, Anggota Divisi Monitoring L-KONTAK, Kamis, (23/10/2025).
Yusri mencontohkan, pada penggunaan material semen, seharusnya berstandar SNI, diganti dengan merek dan harga murah. Begitu juga dengan penggunaan besi beton yang seharusnya berdiameter 12 mm diganti menjadi 10 mm.
“Itu pasti mempengaruhi kualitas bangunan yang jauh di bawah standar, mudah rusak, dan tidak bertahan lama,” kata Yusri.
Hal ini tentu sangat merugikan. Selain merusak fasilitas yang seharusnya dapat dinikmati masyarakat dalam jangka waktu panjang, lanjut Yusri, praktik itu mencederai amanah rakyat.
“Jika tidak ada pengawasan ketat, program yang seharusnya membawa harapan dan kemajuan, itu hanya menjadi ladang basah bagi para koruptor. Anggaran besar dan output fisik yang minim, menjadi bukti nyata bahwa masalah ini harus segera diatasi,” tegasnya.
Menurut Yusri, perlunya pelibatan masyarakat secara aktif dan pengawasan yang ketat dari pemerintah dan memberikan sanksi tegas kepada siapa pun yang terbukti melakukan penyelewengan. Sebab, Revitalisasi Satuan Pendidikan bukan sekadar perbaikan fisik sekolah, melainkan sebuah terobosan yang membawa optimisme baru.
Berdasarkan data yang dihimpun L-KONTAK, Sekolah yang telah melengkapi administrasi dan menandatangani PKS: 11.179 sekolah terdiri atas PAUD 1.260 sekolah, SD 3.903 sekolah, SMP 3.974 sekolah, SMA 2.042 sekolah dan ditargetkan terpenuhi akhir tahun 2025 untuk seluruh Indonesia.
“Penyaluran dana revitalisasi sekolah Tahap I senilai 70% dan sisanya sejumlah 30% setelah dinyatakan Tahap I rampung,’ ungkapnya.
Yusri menilai, potensi kecurangan sangat tinggi, apalagi kepercayaan dan tanggung jawab diberikan kepada Kepala Sekolah untuk melakukan swakelola dana revitalisasi sekolah sangat besar.
Yusri berharap agar tindakan manipulatif terhadap Laporan Pertanggungjawaban tidak dilakukan, seperti bukti nominal pada kuitansi lebih tinggi dari pengeluaran sebenarnya. Selain itu, katanya, penggelembungan harga bahan bangunan atau upah pekerja dari harga pasar dapat menjadi sasaran empuk, misalnya, harga semen di pasaran Rp55.000 per sak, namun dilaporkan dalam kwitansi senilai Rp75.000.
“Pengawasan ketat terhadap daftar gaji pekerja dengan tanda tangan dari orang yang terlibat jangan sampai ada yang fiktif. Upah kerja harusnya dicairkan melalui transfer sehingga nantinya dapat dilacak. Prinsip-prinsip Pengadaan menjadi kunci utama, jika itu tidak terpenuhi, sebaiknya ada tindakan tegas dari pemerintah,” tutupnya. (*)
 
 

















