Laporan : Hamsyah HD
Pasangkayu, 12 Oktober 2025 – Konflik sengketa lahan antara masyarakat pemilik Surat Keterangan Tanah (SKT) dengan PT. Mamuang di Desa Martasari, Kecamatan Pedongga, Kabupaten Pasangkayu, hingga kini belum menemukan titik terang. Masyarakat menuntut ganti rugi lahan seluas sekitar 300 hektar yang berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan, berdasarkan bukti kepemilikan surat SKT yang diterbitkan sejak tahun 1988. Juga berdasarkan cara mengakses peta HGU online. Milik resmi ATR/BPN yaitu aplikasi sentuh tanahku dan petunjuk petah manual yang sama ditemukan dari dinas pemerintah kabupaten pasangkayu. Sehingga masyarakat berani turun lokasi menuntut tanahnya dikembalikan atau diganti rugi

Tuntutan Masyarakat dan Sikap Perusahaan
Menurut Muhammad Yusuf, mantan Kepala Desa Pajalele yang kini menjadi koordinator masyarakat pemilik lahan, pihak Administrator PT. Mamuang telah bersedia menyampaikan tuntutan ganti rugi lahan kepada manajemen pusat perusahaan dengan batas waktu hingga 1 November 2025. Namun, upaya penyelesaian masih menemui hambatan.
“Mereka meminta agar pondok yang kami bangun di lokasi dibongkar, tapi kami menolak. Pondok itu akan terus berdiri sebagai simbol perjuangan kami sampai ada hasil dari manajemen pusat,” kata Yusuf.
Pihak masyarakat menegaskan, selama pondok tersebut tidak dirusak, mereka tidak akan melakukan tindakan lain. Namun, jika perusahaan sampai merusak pondok, masyarakat siap menurunkan kegiatan ke lokasi dengan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Ketegangan Memuncak Saat Turun Lokasi
Konflik semakin memanas pada Sabtu, 4 Oktober 2025, saat masyarakat turun ke blok 18 Afdeling Delta untuk melanjutkan pembangunan pondok. Rekaman video yang diperlihatkan Yusuf menunjukkan adanya intimidasi dari pihak perusahaan, yang menurunkan sejumlah orang tak dikenal membawa senjata tajam seperti parang dan berteriak-teriak mengancam warga.
“Kami menahan diri agar tidak terpancing emosi dan menghindari tindakan pidana, walaupun mereka mengamuk dan mengancam,” ujar Yusuf.
Sejarah Sengketa dan Bukti Kepemilikan
Masyarakat yang mengklaim lahan tersebut berdasar pada SKT tanah yang diterbitkan pada tahun 1988, 1990, dan 1991, jauh sebelum PT. Mamuang melakukan pembukaan lahan pada awal 1990-an. Menurut Yusuf, proses masuknya perusahaan dimulai tahun 1987 dengan survei dan pembuatan peta kerja hingga akhirnya pada tahun 1997 perusahaan memperoleh HGU.

“Surat-surat asli kepemilikan tanah kami simpan dengan baik. Saat ini sudah ada sekitar 50 SKT yang kami pegang, sebagian lagi sedang dalam proses pengumpulan,” tambah Yusuf.
Upaya Mediasi yang Belum Membuahkan Hasil
Pada kunjungan kedua masyarakat untuk membangun pondok, pihak perusahaan bersama Kepala Desa Martasari datang dan terjadi perdebatan sengit. Pihak perusahaan melalui CDO meminta agar Kepolisian memediasi sengketa tersebut. Namun hingga lima hari setelahnya, tidak ada tindak lanjut, sehingga masyarakat turun lagi pada tanggal 4 Oktober dan menghadapi intimidasi.
Beberapa pemilik lahan yang dihubungi antara lain Supinang (Kelurahan Pasangkayu), Hidu H (Desa Martasari), dan Syafruddin (Kelurahan Pasangkayu), semuanya berharap PT. Mamuang dapat menepati janjinya untuk memberikan ganti rugi sesuai tuntutan.
Supinang (Kelurahan Pasangkayu):
“Saya sudah lama tinggal dan mengelola tanah ini berdasarkan SKT yang sah. Kami hanya ingin hak kami dihargai dan diberikan ganti rugi yang layak oleh PT. Mamuang. Jangan sampai kami terus diabaikan dan diperlakukan tidak adil.”
Hidu H (Desa Martasari):
“Kami berjuang mempertahankan lahan kami dengan damai. Kami ingin perusahaan menghormati keberadaan kami dan memenuhi janji ganti rugi. Jika tidak, kami akan terus berjuang hingga hak kami diakui.”
Syafruddin (Kelurahan Pasangkayu):
“Pondok yang kami bangun adalah simbol perjuangan kami. Kami tak akan membiarkan perusahaan merusaknya. Kami harap pemerintah dan perusahaan bisa mendengarkan suara kami dan menyelesaikan masalah ini dengan adil.”
Bobu P (Desa Martasari):
“Selama puluhan tahun kami hidup dan bertani di atas tanah ini. Surat kepemilikan kami sudah jelas. Kami hanya ingin hak kami diakui dan mendapat ganti rugi sesuai janji perusahaan.
“Pihak kami ada dua opsi, yakni mengembalikan tanah sesuai yang di SKT seluas 250 Hektar, dan atau perusahaan mengganti rugi senilai Rp.200 Juta/Hektar,” tegas Pak Yusuf.
Kami siap berdialog, tapi bukan dengan ancaman.” Kasus sengketa lahan ini mencerminkan dilema antara hak kepemilikan masyarakat adat yang telah ada puluhan tahun dengan perusahaan perkebunan yang memiliki izin resmi. Meski ada upaya dialog dan mediasi, intimidasi dan ketegangan fisik menjadi hambatan utama penyelesaian damai. Hingga batas waktu yang disepakati 1 November 2025, masyarakat menunggu itikad baik dari PT. Mamuang untuk memenuhi janji ganti rugi dan menghormati hak-hak mereka. (**)


















