Catatan : Abdul Rajab Abduh
Di bawah langit yang mengambang di atas tanah Mandar, waktu berjalan dalam irama yang pelan tapi pasti. Seratus hari telah berlalu sejak H. Samsul Mahmud dan Andi Nursami Masdar menapakkan kaki di panggung pemerintahan Polewali Mandar. Seratus hari yang bukan sekadar hitungan tanggal dalam almanak, melainkan perjalanan batin dan tekad politik yang mengawali babak baru bagi tanah yang kaya sejarah ini.
Pada hari pertama, langkah mereka tak ditandai dengan gegap gempita, tetapi dengan sapaan sunyi rakyat yang menaruh harap pada bahu dua pemimpin ini. Di hadapan wajah-wajah petani di pegunungan, nelayan di pesisir, guru-guru yang mengabdi di pelosok, dan ibu-ibu yang setia menanak harapan, mereka berjanji bukan dengan kata, tapi dengan kerja.
Samsul Mahmud, seorang politisi sejati dengan pengalaman panjang dalam menahkodai panggung politik, hadir dengan ketenangan seorang ayah yang ingin membenahi rumahnya sendiri. Di sisi lain, Andi Nursami Masdar, sosok perempuan tangguh yang telah menempuh jalan panjang dalam pengabdian, membawa kepekaan dan ketegasan sebagai pemimpin rakyat. Duet ini, seolah menggabungkan logika pemerintahan dan rasa keibuan, menyatu dalam satu perahu bernama Polewali Mandar.
Dalam seratus hari ini, geliat perubahan mulai terasa. Pelayanan publik perlahan dibenahi, birokrasi disegarkan, dan komunikasi antar instansi mulai mengalir tanpa hambatan. Beberapa pelayanan terpadu satu pintu dipermudah, menjadi lebih ramah bagi masyarakat yang sebelumnya lelah bertanya pada dinding.
Di sektor pertanian dan perikanan nadi utama ekonomi rakyat pemimpin ini memulai dengan mendengar. Mereka turun ke sawah, menepi di dermaga, menyerap cerita dan keluhan yang tak terliput dalam dokumen-dokumen resmi. Di sanalah, arah kebijakan dirumuskan: bukan dari balik meja, tapi dari tanah yang dipijak rakyat.
Di tengah dinamika anggaran yang terbatas, mereka memilih langkah kecil tapi terukur. Program penguatan UMKM mulai dirintis, dan perhatian kepada generasi muda kembali dikuatkan. Seratus hari memang terlalu dini untuk menagih janji besar, tapi cukup untuk melihat ke arah mana perahu ini diarahkan.
Tidak semuanya mulus. Ada kritik, ada suara sumbang yang mempertanyakan arah dan kecepatan. Tapi, bukankah pemerintahan yang baik justru harus tumbuh di antara suara yang beragam? Samsul dan Nursami tidak menutup telinga. Dalam beberapa forum, mereka memilih hadir, mendengar langsung, bahkan menerima protes dengan kepala tegak.
Yang paling mengesankan dalam seratus hari ini adalah kehadiran mereka yang nyata bukan hanya dalam berita resmi, tapi dalam denyut hidup masyarakat. Mereka hadir di sawah, di sekolah, di pasar, dan di rumah-rumah ibadah. Bukan untuk simbol, tapi sebagai tanda bahwa pemerintahan ini ingin berjalan bersama rakyat, bukan di atasnya.
Kini, seratus hari telah berlalu. Waktu akan terus bergulir, dan ujian sesungguhnya baru saja dimulai. Tapi di tanah Mandar yang penuh semangat dan nilai budaya, pemimpin yang hadir dengan niat baik dan kerja nyata tak akan berjalan sendiri. Mereka akan didorong, dikritik, bahkan dipeluk oleh rakyatnya selama niat itu tetap jernih dan langkah tetap setia di jalan yang benar.
Seratus hari bukan akhir, tapi sulaman benang-benang harapan pertama. Polewali Mandar menanti lembar-lembar berikutnya, dan rakyat akan mencatat bukan dengan tinta, tapi dengan hidup mereka sendiri.
( #abdulrajababduh*)