JAKARTA, PUBLIKNEWS.CO.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Rabu (29/10/2025).
Sidang yang dipimpin oleh Majelis Hakim Konstitusi tersebut beragenda mendengarkan keterangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pihak Terkait Dewan Pers.
Perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM), yang diwakili oleh Ketua Umum Irfan Kamil dan Sekretaris Jenderal Ponco Sulaksono. Para Pemohon mempersoalkan Pasal 8 UU Pers beserta penjelasannya, yang dinilai multitafsir dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam memberikan perlindungan terhadap wartawan.
Pasal 8 UU Pers menyebutkan bahwa wartawan memperoleh perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya. Namun dalam penjelasan pasal tersebut, perlindungan dimaknai sebagai jaminan dari pemerintah dan/atau masyarakat. Menurut para Pemohon, penjelasan ini tidak memberikan kejelasan mengenai mekanisme perlindungan hukum yang seharusnya diterima oleh wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya.
Dalam sidang tersebut, DPR yang diwakili oleh Anggota Komisi III Rudianto Lallo, menyampaikan bahwa pembentukan UU Pers bertujuan untuk menjamin kemerdekaan pers sebagai bagian dari hak asasi warga negara untuk memperoleh dan menyampaikan informasi.
“Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Pers, pers memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol sosial. Fungsi-fungsi tersebut memiliki peranan penting dan strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” ujar Rudianto di hadapan Majelis Hakim Konstitusi.
Ia menambahkan, posisi pers yang strategis menjadikan profesi wartawan berpotensi menghadapi tekanan dari berbagai pihak, baik pemegang kekuasaan, badan hukum, maupun masyarakat. Oleh karena itu, wartawan perlu memperoleh perlindungan hukum yang tegas, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Pers.
Lebih lanjut, Rudianto menjelaskan bahwa UU Pers juga mengatur pembentukan Dewan Pers yang berfungsi mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas pers nasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 ayat (2). Dewan Pers berperan menjaga kemerdekaan pers agar tetap profesional dan bertanggung jawab.
Selain itu, DPR juga menegaskan bahwa perlindungan hukum terhadap wartawan tidak hanya terdapat dalam Pasal 8, tetapi juga dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers yang melarang tindakan menghambat atau menghalangi wartawan menjalankan profesinya. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai pidana penjara paling lama dua tahun atau denda maksimal Rp500 juta.
“Ketentuan ini merupakan bagian dari norma yang memberikan jaminan perlindungan hukum bagi wartawan dalam menjalankan profesinya secara independen dan bertanggung jawab,” jelas Rudianto.
Rudianto menegaskan, perlindungan hukum terhadap wartawan bukan berarti memberikan imunitas atau kekebalan hukum terhadap proses penegakan hukum. Perlindungan dimaksudkan agar wartawan dapat bekerja secara profesional tanpa tekanan atau ancaman.
“Pers memiliki peranan vital dalam masyarakat demokratis, sebagai pengumpul dan penyebar informasi, pengawas kekuasaan, penyampai opini publik, serta sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. Di era disrupsi informasi, pers dituntut menjaga profesionalisme dan menyajikan berita yang akurat, terpercaya, serta berkualitas,” pungkasnya.
Negara dan Masyarakat Punya Peran dalam Perlindungan Wartawan
Sementara itu, Dewan Pers yang diwakili oleh Abdul Manan menyampaikan bahwa UU Pers telah secara jelas memberikan sanksi bagi siapa pun yang menghambat atau menghalangi wartawan dalam menjalankan tugasnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan pidana yang berlaku.
Menurutnya, lembaga yang bertanggung jawab memberikan perlindungan hukum bagi wartawan adalah negara dan masyarakat, sesuai dengan peran dan kewenangannya masing-masing.
“Perlindungan oleh lembaga legislatif dilakukan melalui pembentukan regulasi, termasuk UU Pers. Lembaga eksekutif memiliki kewenangan untuk menerapkan hukum melalui penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan lembaga yudikatif memberikan perlindungan dalam proses peradilan,” jelas Abdul Manan.
Ia menambahkan, penerapan UU Pers juga terlihat dalam berbagai kasus sengketa yang melibatkan wartawan dan perusahaan pers, di mana Dewan Pers sering dihadirkan sebagai ahli untuk memberikan pandangan profesional terkait praktik jurnalistik.
Abdul Manan menuturkan, sejak disahkannya UU Pers pada 1999, masih terdapat sejumlah kasus pemidanaan terhadap wartawan yang umumnya menggunakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti pencemaran nama baik, penistaan agama, serta penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
“Dalam konteks ini, Dewan Pers terus mendorong agar setiap kasus yang melibatkan kegiatan jurnalistik ditangani dengan mengacu pada mekanisme yang diatur dalam UU Pers, bukan KUHP,” ujarnya.
Sebelumnya, IWAKUM menilai Pasal 8 UU Pers tidak sejelas perlindungan hukum bagi profesi lain, seperti advokat yang diatur dalam Pasal 16 UU Advokat maupun jaksa dalam Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan. Kedua profesi tersebut secara eksplisit dilindungi dari tuntutan hukum sepanjang menjalankan tugas dengan itikad baik.
Ketua Umum IWAKUM Irfan Kamil dalam permohonannya menegaskan bahwa Pasal 8 UU Pers seharusnya menjamin perlindungan hukum bagi wartawan, namun penjelasannya justru memperluas makna secara ambigu. Dalam permohonan, IWAKUM juga menyinggung kasus kriminalisasi jurnalis Muhammad Asrul dan Diananta Pramudianto yang dijerat pidana atas karya jurnalistik mereka. Pemohon menilai hal tersebut menunjukkan ketidakpastian hukum akibat ketidakjelasan Pasal 8 UU Pers.(*)
Sumber : HUMAS MKRI


















